hati-hati kalo bicara: sebuah renungan tentang kebebasan berpendapat

30 06 2009

Palu TidurBeberapa bulan ini kita dikejutkan dengan kasus-kasus yang aneh. Aneh karena kasus-kasus itu seakan-akan mengingatkan kita akan kehidupan di zaman orde baru dimana saat itu kebebasan berpendapat sangat dibatasi bahkan cenderung dilarang. Di zaman orde baru dulu tidak ada orang yang berani mengkritik pemerintah bahkan mengkritik orang lain yang nyata-nyata alpa pun tidak berani. Ancaman mendekam di penjara pun menjadi senjata ampuh pemerintah saat itu untuk membungkam opini dan kritikan publik. Dan kini, di era reformasi kasus-kasus seperti itu seperti terlahir kembali. Tersebutlah kasus Prita Mulyasari (semoga saya tidak salah tulis nama, mohon maaf bila ada kesalahan penulisan nama) yang didakwa melakukan pencemaran nama baik pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dakwaan itu masih ditambah dengan pasal 27 ayat (3) Undang-undang nomor 11 tahun 2008. Satu kasus lagi yang berhubungan dengan kebebasan berpendapat datang dari Bogor, Jawa Barat. Kini kasus itu menimpa Ujang Romansyah yang disangka melakukan pencemaran nama baik lewat situs jejaring sosial ternama Facebook. Namun, Polresta Bogor yang menangani kasus itu menerapkan kehati-hatian dan ketelitian bahkan hingga meminta bantuan dari ahli IT dan ahli lain untuk ikut mengusut kasus tersebut. Hal ini dilakukan karena kasus ini dapat menimbulkan gejolak sosial yang luas seperti kasus Prita Mulyasari. Demikian kabar yang dilansir TVONE pada tanggal 30 Juni 2009 lalu.

“Penghinaan (belediging dalam bahasa Belanda) di Indonesia masih tetap dipertahankan. Wujud belediging sendiri ada beberapa macam yaitu menista (termasuk menista dengan tulisan), memfitnah, melapor secara memfitnah dan menuduh secara memfitnah. Di seluruh dunia pasal-pasal tentang penghinaan masih tetap dipertahankan. Alasannya hasil dari penghinaan berwujud pencemaran nama baik adalah character assassination dan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Di Indonesia sendiri pasal-pasal penghinaan seperti tersebut dalam pasal 310-321 KUHP masih tetap dipertahankan. Alasannya selain menghasilkan character assassination juga dianggap tidak sesuai dengan adat timur yang dianut Indonesia”. Demikian pendapat dari Dr. Eddy OS Hiariej, S.H.,M.Hum; dosen hukum pidana pada Fakultas Hukum UGM. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam undang-undang karena telah melanggar kaidah sopan santun bahkan pencemaran nama baik dapat dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah.

Dari uraian Dr. Eddy OS Hiariej, S.H., M. Hum di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pencemaran nama baik adalah suatu hal yang sangat subyektif. Penilaian terhadap pencemaran nama baik amat bergantung pada orang yang diserang nama baiknya. Bila orang tersebut menganggap tindakan orang lain itu biasa saja maka tidak terjadi tindak pidana pencemaran nama baik.  wisuda

Negara kita adalah negara demokrasi yang menjamin kebebasan warga negaranya untuk menyatakan pendapat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kini timbul pertanyaan kebebasan seperti apa yang diamatkan konstitusi dan Pancasila? Kebebasan yang diamanatkan oleh konstitusi adalah kebebasan yang bertanggungjawab, kebebasan yang menghargai hak-hak dan kehormatan orang lain. Kasus Prita Mulyasari sedikit banyak menyadarkan kita agar kita lebih berhati-hati lagi dalam mengeluarkan pendapat. Walaupun Prita telah diputus bebas karena dakwaan jaksa penuntut umum kabur dan tidak cermat serta keliru dalam penerapan hukumnya, namun sebagai insan yang beragama dan menjunjung tinggi adat istiadat timur dan menjunjung tinggi persaudaraan dan kekeluargaan maka hendaknya kita berjati-hati dalam mengeluarkan pendapat. Jangan sampai apa yang kita ungkapkan menyakiti hati dan perasaan saudara kita sebangsa dan setanah air. Ibarat kata lidah tak bertulang dan kata-kata lebih tajam daripada pisau. Guru mengaji saya pernah mengatakan kalau bertutur kata hendaknya pahit madu. Madu yang manis saja masih terasa pahit. Maksudnya ketika kita bertutur kata hendaknya kata-kata yang kita ucapkan lebih manis dari madu. Kata-kata yang kita ucapkan sebisa mungkin menyenangkan hati lawan bicara kita dan tidak menyinggung perasaannya. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda yang intinya menyuruh kita untuk berbicara yang baik atau diam bila kita tidak mampu berbicara yang baik. Pepatah lain mengatakan diam itu emas. Intinya, kita boleh mengutarakan pendapat, kita boleh mengungkapkan kritikan, asal diutarakan dengan tutur kata yang lembut dan tidak menyinggung perasaan orang lain.

Sumber : -tvone.co.id tanggal 30 juni 2009 dan artikel berjudul “Memahami Pencemaran Nama Baik” oleh Dr Eddy OS Hiariej, S.H, M.Hum dimuat di Harian Kompas tanggal 5 Juni 2009


Aksi

Information

5 responses

1 07 2009
sososibuk

kasus Ujang yang mengatakan kata2 ga pantes di FB yang di tunjukan ke Feli juga udah di usut.
Ko bisa gitu yah?
emang harus ati2 sih…
ntar malah di bui 😀

1 07 2009
yogie

kasus pencemaran nama baik kan delik aduan, mbak… jd ketika ada pengaduan dr korban langsung diusut..:D kritis mengkritik boleh aja, mbak… asal ya itu td menggunakan tutur kata yang lembut

10 07 2009
Putriima

panjang tapi berisi..thanks infonya…^^

18 07 2009
escoret

woowwww..postingan beratttsss

18 08 2009
ichanx

kasus kayak prita gini nih yang ditakutin… hukumnya ngambang sih

Tinggalkan komentar